Tetralogi 1 : Bumi Manusia
Inilah bagian pertama dari tetralogi Buru yang terkenal, dan tidak terlalu kusukai. Butuh dua kali menyelesaikan buku ini agar tahu bagaimana mengatakan persisnya. Jelas kata ganti “Aku” menghimpun di benak pembaca orang macam apa yang sedang berbicara. Bagaikan opera sabun, kemunculan bagian terbaik dari buku tebal ini patut disyukuri. Bagaimanapun, ada sinetron yang bagus. Sebaiknya pembaca khatam empat buku agar lebih objektif. Namun bila ingin fokus mengulas Bumi Manusia (BM), pertama-tama, kita harus menyadari situasi cerita berada di akhir abad 19 masehi. Dan kedua, Minke masih muda. Usianya 18 tahun. Dia memang pintar walaupun sarat dengan prasangka negatif.
Bumi Manusia merupakan roman yang mengisahkan gejolak masa muda serta permasalahan keluarga yang melingkupi percintaan pasangan kekasih Minke-Annelis. Karena setting-nya zaman kolonial, ekses konfliknya menyinggung SARA dan kedaerahan. Sesudah membaca sampai dua kali, plot BM kurang klop meski Pram punya keunggulan diksi dan bernarasi. Bukan perihal teknis, melainkan pemilihan contoh kasus. Misalkan mengenai Jean Marais di perang Aceh dan kasus keluarga Mellema. Sesiapa pengarang di Indonesia dapat belajar dari tetralogi Buru, sedangkan bagi para pembaca muda mesti berhati-hati mengambil pelajaran. Mungkin itu sebabnya buku ini pernah dilarang.
Cerita diawali oleh pertaruhan Minke dan temannya Robert Suurhof untuk merayu seorang gadis cantik. Minke sekonyong-konyong telah menjadi Philogynik (penakluk wanita). Mereka pergi bertamu ke suatu tempat perusahaan pertanian milik seorang pengusaha Belanda dengan motif tersebut. Minke memang berhasil tapi gadis itu Annelis yang kekanak-kanakan dan gampang sakit. (coba bandingkan dengan kisah Dangerous Liaisons). Annelis naksir pada Minke disebabkan waktu itu, Minke memuji langsung kecantikan Annelis bahkan menciumnya di perjumpaan pertama. Dia juga disukai oleh ibu Annelis, Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema (ayah Annelis). Suurhof yang kalah taruhan pakai menghindar-hindar segala dari Minke.
Minke pun terlanjur jatuh hati kepada Annelis yang jelita. Dia bersikeras tinggal bersama memenuhi ajakan Nyai Ontosoroh (ibu Annelis) di kediamannya, menghadapi kebencian dari tuan rumah Herman Mellema dan putranya. Kapan lagi dapat gadis indo cakep? Begitu kira-kira alasannya sebagai anak muda di samping pengaruh Nyai Ontosoroh. Itu cukup walaupun berkesan dangkal. Hal ini lantaran pembaca di Goodreads mempertanyakan ketulusan Minke (cinta kepada kecantikan) berbuat nekat tanpa memikirkan statusnya -seperti yang dilontarkan ayahnya kemudian. Minke dan Annelis sempat berpisah dan cerita berlanjut pada problematika kehidupan keluarga masing-masing.
Ada catatan khusus mengenai Nyai Ontosoroh berdasarkan hampir setiap komentar positif dari pembaca Goodreads, barangkali karena adanya pola berulang-ulang sanjungan berlebihan kepada Nyai terutama dari Minke. Seperti kita ketahui, gundik Herman Mellema itu wanita luar biasa dan santun. Simbol wanita modern yang mengelola perusahaan. Menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Sensitif pada sikap merendahkan statusnya sebagai nyai. Dia memutus hubungan orang tua-anak (menolak menemui bapak dan ibunya sampai mereka meninggal). Melarang anaknya berteman dengan pekerja pribumi. Yang paling populer tentu ketika meminta diperlihatkan oleh Annelis berciuman dengan lelaki asing yang baru dikenal. Mengingat riwayatnya, dia karakter yang wajar dan bisa kebablasan.
Buku ini ditutup dengan baik di bab terakhir yang menyesakkan ketika Annelis harus berangkat ke Belanda berpisah dari Minke dan Nyai Ontosoroh. Ada satu cerita dari Multatuli tentang negeri penjajah yang dikutip Minke :
"Adalah sebuah negeri di tepi Laut Utara. Tanahnya rendah maka dinamai Negeri Tanah Rendah -Nederland, atau Holland. Karena tanahnya rendah orang bosan selalu memperbaiki tanggulnya, maka jadi kebiasaan mereka meninggalkan negerinya, mengembara, untuk mengagumi negeri-negeri lain yang tinggi bergunung-gunung. Kemudian menguasainya tentu. Di negeri-negeri tinggi itu penduduknya mereka bikin rendah, tak boleh sedikit pun mendekati ketinggian tubuh mereka."
Simpulan :
Bumi Manusia menceritakan pasangan kekasih Minke-Annelis beserta perkara keluarga mereka di masa penjajahan Belanda. Bagaimana apabila romansa dan konflik kekeluargaan itu dipindahkan ke latar masa kini? Hasilnya mungkin sama. Kurasa demikian inti cerita buku pertama tetralogi Buru. Jangan lupa bahwa Bumi Manusia adalah roman (kisah percintaan) tertulis pada sampul keempat seri buku. Pembaca umumnya menangkap pokok permasalahan adanya perbedaan perlakuan antara Eropa totok, Indo dan pribumi. Bila kita ingin menyederhanakan, faktor penyebab seluruh masalah hingga ke pengadilan yang dihadapi Minke ialah "kumpul kebo", membawa dirinya terseret oleh pertikaian ibu Annelis dengan keluarga Herman Mellema di Belanda. Jadi, itu murni permasalahan keluarga. Minke dan Nyai Ontosoroh lalu bersekutu atas dasar sesama pribumi seolah-olah menyalahkan diskriminasi terhadap pribumi sebagai penyebab konflik dari tokoh-tokoh utama. Di saat yang sama, narator menegaskan perbedaan antara keturunan raja dan non bangsawan. Adalah benar terdapat sistem diskriminatif dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pram perlu mengganti dengan kasus lain yang berkaitan langsung dengan ketidakadilan itu.
Di luar dari aspek penokohan dan plot, Pram telah melakukan pekerjaan yang luar biasa menata setting. Satu hal yang kusenangi dari tetralogi bagian pertama ini adalah wawasan Minke di bidang furniture dan desain interior oriental maupun Eropa. Cara terbaik pembaca mengambil hikmah dari karya Pram khususnya tetralogi Buru yaitu memisahkan cerita fiksi dengan sejarah tokoh pergerakan nasional. Jika tidak, Pram lebih baik menulis buku biografi. Terkadang saya berpikir kritis bukan karena buku ini tidak sempurna, melainkan komentar pembaca-pembaca di Goodreads seolah 'tidak membaca' dan hanya memuji sekenanya. Mungkin karena Tetralogi Buru masyhur di dalam negeri dan sudah mendunia. Bumi Manusia bukan karya terbaik Pram.
Alternatif cara membaca Bumi Manusia
1. Buku ini bagusnya dimulai dari bab 7 (bagian terbaik dari buku, salah satu bab terbaik dari semua buku yang pernah kubaca) demi menarik perhatian pembaca. Kilas balik singkat dapat dilakukan dalamnya. Namun sayang di bab berikutnya, kita kembali ke melodrama yang membosankan.
2. Bumi Manusia memberikan kesan sebagai novel puji-pujian terutama kepada diri sendiri bagi Minke dan tokoh utama lain Nyai Ontosoroh serta Annelis. Untuk menetralisir motivasi tersebut agar tidak terlalu mencolok, alangkah bijak bila sepanjang bacaan menggunakan sudut pandang orang ketiga.
3. Ketika datang nada sanjungan kepada Minke misalkan atas tulisannya yang dimuat oleh media massa, sebaiknya contoh setiap karyanya dimasukkan dalam karangan supaya meyakinkan.
Komentar