Tanpa Waktu : Akal dalam Kecepatan Cahaya
![]() |
| source : wikipedia |
Pengertian “waktu” sungguh terjwab berkat kemajuan sains (fisika dll.). Menalar perjalanan waktu terkait dengan tiga pertanyaan mendasar semua manusia :
1. Apa sebelum kehidupan manusia?
2. Apa gunanya ada dunia manusia?
3. Ke mana setelah hidup di dunia?
"Manusia diberi waktu." Mungkin bisa berarti ruang direnggangkan melengkung, demi masa. Sebuah titik direkahkan (bigbang) agar manusia punya lebih banyak waktu belajar mencari ilmu dan menggunakan akalnya (keunggulan manusia dari makhluk lain). Matang dan bulat memutuskan
"Dan kami telah menunjukkan dua jalan."
Al Balad 10
"Demi waktu, sungguh manusia berada dalam kerugian..."
Al Ashr 1-2
Mengapa kiranya tetap diberi istilah dilatasi atau perlambatan waktu sedangkan pada 100% kecepatan cahaya, waktu tidak ada? Eksistensi manusia, kehidupan, dan alam semestalah yang terlalu lambat. Cahaya inderawi biasa di sekitar kita dan medium acuannya pastilah keseluruhan dunia ini.
Ketiadaan ketika tidak ada yang namanya waktu hakekatnya manusia hidup untuk dinilai keputusan dan tindakannya setiap saat dalam kecepatan cahaya tanpa kenal jeda. Ini berarti momen itu otak manusia adalah superkomputer, diilhami hitam-putih biner (I dan 0). Memahami kenyataan itu, apa yang dimiliki manusia tinggal kesadaran (ruh). Kesadaran akan hubungannya dengan Maha Pengatur yang dipengaruhi dua hal : 1. Bobot bacaan (ilmu) 2. Lingkungan 3. Melakukan sesuatu yang menutupi akal
Tiap-tiap perbuatan perihal masa lalu, kini, dan ke depannya menyatu dalam satu titik. Di puncak ketinggian ilmu pengetahuan, misalkan pada seorang mujtahid, konsep takdir tidak dipersoalkan lagi. Begini perumpamaannya : Setiap manusia mengambil keputusan di dunia yang menyebabkan dirinya menghuni Neraka, bagi makhluk di luar latar (dimensi dunia) misalnya malaikat (yang terbuat dari cahaya), orang itu masuk neraka atas pilihannya sendiri. Inilah yang kumaksud kesadaran berkecepatan cahaya -yang tak kenal tenses.
Ulama fuqaha sama sekali tidak bermaksud menghindari anjuran mengkaji topik persilangan kehendak manusia dan takdir. Pengetahuan itu memerlukan wawasan lengkap terutama penguasaan matematika, astrofisika, dan ditunjang oleh kemantapan aqidah. Lagipula sains eksakta memerlukan lebih banyak waktu sampai kepada pemahaman kekinian.
Keberlangsungan semua itu tidak mengikuti alur masa (Al Ashr) yang telah berlalu, kini, dan mendatang karena ilahian tidak mengenal konsep waktu, bahkan sains juga tidak. Oleh karena itu, mengatakan adanya takdir baik dan takdir buruk kepada manusia berpotensi misleading. Pendidikan dan internalisasi iman kepada Qadha dan Qadar merupakan perkara advance, tidak tepat diajarkan secara umum di lingkungan pendidikan basic, sebaiknya didahului pengajian di lingkup keluarga baik dari orangtua maupun ustad/ustadzah. Lebih efektif mengajar pelajaran QnQ pada siswa usia baligh bersamaan pengetahuan IPA terutama fisika teoritis
Dapat dibayangkan bahwa realitas adalah penghakiman setiap saat. Rezim big-data-brother diprediksi memanipulasi kesadaran itu dengan program monitoring, pengawasan mengikat dan inspeksi mendadak bernuansa playing god. Itulah sebabnya orang-orang mukminlah (tidak semua muslim) yang mampu bertahan dari Human Control System (HCS) karena telah terbiasa dalam aqidah mereka diawasi Allah SWT dan malaikat-malaikatNya.
Referensi :
Nizhamul Islam - An Nabhani
Yt. LSF Cogito
Yt. Rumah Editor

Komentar