Debat tentang Cocokologi

pxhere.com

Sungguh rasa percaya memerlukan syarat Ilmiah paling sederhana yaitu adanya pengamatan terhadap mukjizat. Objektivitas* diperoleh dengan misalnya menghadirkan minimal tiga orang saksi, dokumentasi (pencatatan, pengambilan gambar, rekaman, dll.), observasi ulang dst. Keimanan itu tidak bisa diubah -ketidakpercayaan atheis hingga agnostik sekalipun- sampai ada hasil penelitian ulang lain yang sanggup membantah iman bersangkutan (falsifikasi).

Meskipun sains dari hari ke hari mumpuni meningkatkan ketelitian, ia selalu dibatasi cakrawala sementara mukjizat Al Quran dengan kearifan sederhana memprediksi dan menyebut hal-hal yang belum disibak oleh penemuan. Bukankah akurasi sains itu diperlukan untuk mengukur memastikan kebenaran firman dan nubuwah nabi? Dari konstruksi berpikir demikian, iman dan keilmiahan tidak bisa dipisah apalagi kemudian seiring waktu datang semakin banyak bukti** saintifik yang menjustifikasi keyakinan sebelumnya. Apa yang marak diperdebatkan ialah kelayakan suatu penemuan data, informasi, dan pengetahuan baru demi melengkapi keimanan yang Ada, keimanan-di-dada. Ternyata hal yang dipermasalahkan berada di tataran sistematika pengumpulan dan manajerial. Itu memang penting tetapi tidak sama sekali mendidik cara berpikir yang wajar dan alami ; berkisar perihal cara mengaitkan pengetahuan dan fakta hingga menjadi iman. Celahnya di pemahaman, sesuatu yang dibedah habis-habisan di hermeneutika, sementara solusi pertama menyinggung literasi Islam adalah pengusaan bahasa arab dan ilmu Al Quran. Lantas, metodologi apa sih sebenarnya yang mereka bicarakan? Berkesan itu tentang cara membuat karya ilmiah yang benar/valid/shahih, dan untuk terus mempertentangkan iman dan akal ilmiah. Padahal rasionalitas keislaman (cara berpikir rasional agama pada umumnya) amat berbeda dengan cara berpikir eksakta (Lab dan ujian MIPA). Agama mengaitkan fakta dan realitas dengan pengetahuan sebelumnya sementara eksperimentasi saintifik harus meniadakan data di luar lingkungan terkondisi. Hasil penelitian eksak dan atau riset sosial kemudian masuk menjadi maklumat (data dan info sebelumnya) kembali kepada siklus berpikir rasional. Itulah mengapa istilah ilmiah tidak dimonopoli oleh IPA. IPS juga melakukannya ditunjang oleh data pengukuran matematis seperti statistika, ekonometri, dll. Orang-orang beriman dan bertaqwa patut curiga itu upaya menghalangi orang memperoleh iman, meningkatkan rasa percaya, dan memantapkan keyakinan. Jadi bagaimana mungkin menjauhkan iman dari akal (filsafat dan metode ilmiah)? Memisahkan agama dan sains itu sesat dan menyesatkan. Cocokologi atas ayat Cocokologi versus anti-cocokologi dalil Al Quran terhadap hasil penelitian ilmiah berlangsung tatkala seseorang beropini tanpa menguasai disiplin fakta/fenomena sementara dia juga bukan ahli Al Quran atau cuma pakar salah satunya. Namun, ini juga bukan kendala karena ada cara mengutip bacaan jurnal ilmiah mutakhir hingga tradisi mengikuti ulama mujtahid tertentu (tabanni). Dalam Islam biasanya ilmu*** itu telah mencakup pengetahuan dan pemahamannya sementara keilmiahan bagian darinya. Cocokologi tanpa mempelajari itu sangat instingtif/naluriah pikiran sehari-hari. Dalam pada itu, kebiasaan mencocok-cocokkan menjodohkan antara suatu ayat dalam Al Quran dan fenomena sains tidak terjadi pada orang yang jarang menyentuh kitab suci atau hampir tidak pernah membaca terjemahan dsb. Apa yang dipercekcokan sesuatu yang jarang diladeni, berisik sendiri soal keakuratan wasilah (sarana/kendaraan), konsistensi uslub (strategi dan taktik), dan ia sama sekali bukan tentang metodologi ketat sistem yang diterapkan dalam sains. Terdengar bagi publik awam seorang ustadz mengatakan kebenaran dan ilmuwan yang berseberangan betul juga. Sebenarnya silang pendapat mereka cuma berpapasan, tidak dikotomis : satu pihak sibuk memperbaiki jalanan dan pengulangan ke arah mana pun itu (ke kiri, tengah, kanan atau tidak ke mana-mana) sedangkan pihak lain memilih suatu tujuan dan melanjutkan perjalanan mengendarai sains. Ia tidak bisa dianggap konflik sejati yang face to face (tidak apple to apple). Tujuan beragama hanya bisa dibenturkan dengan anti-tuhan dan pluralisme sekuler. Antar wasilah sains dapat bertanding secara netral tanpa motif idiologis, misalkan perlombaan merakit mobil tercanggih nan ramah lingkungan.

Teori evolusi versus agama


Perdebatan sengit antara teori evolusi dan Islam sebenarnya  tidak sepadan. Khusus darwinisme dikenal sebagai salah satu referensi yang memotivasi rasisme tiran. Sebagai wasilah, buku-buku bernuansa atheistik boleh dibaca di perguruan tinggi. Genetika dan teori-teori lain tidak tabu dipelajari.


Kisruh tersebut sepenuhnya terkait riwayat panjang sejarah idiologis. Namun, amat disayangkan perlawanan terhadap pemikiran atas perubahan pelan spesies binatang menjadi generasi awal manusia diseret sampai menganggap Islam menyalahi kemajuan zaman, diartikulasi menentang teori-teori lain seperti gravitasi, teknologi kekinian, dll. apa-apaan? Yang dikecam cuma teori evolusi terutama pada manusia karena beredarnya pemikiran itu menjadi uslub bagi penyebaran materialisme dzalim yang head to head dengan tujuan keislaman mengajarkan asal usul manusia.


Terus kala pendebat bilang sains tidak mengurusi hal-hal ghaib dan tujuan yang tak kasat mata. That's it, sains cuma sarana dan perlengkapan epistemologis sebagaimana filsafat-pertama (akal) merupakan alat bantu ontologis. Dua-duanya diperlukan sebelum mencapai horizon pengetahuan. Ketika tiba-di-sana cukup menggunakan pengamatan biasa. Aksiologi agama memberi arah tujuan yang khas ke sana berlawanan dengan tujuan lain dan atau tanpa tujuan.


Wasilah dan uslub itu bebas nilai (mubah) sampai ia bertujuan dzalim dalam pandangan syar'i. Penulis mengkaji aksiologi satu kesatuan dengan ontologi dan epistemologi. Patut diduga, motif anti-cocokologi tidak sekadar melarang para pendakwah melewati jalur ilmiah, melainkan mengarahkan publik menempuh tujuan lain. Beberapa channel Youtube menunjukkan paradoks bernada saintisme menuding-nuding pengemban dakwah mengambil penemuan ilmiah sebagai 'obat-obatan' penguat iman demi pembenaran tanpa metodologi yang jelas (tidak pasti dan tidak ilmiah secara tersirat), tetapi di saat yang sama mengakui penemuan saintifik di dunia terus berkembang dan bisa berubah sewaktu-waktu. Lha relatif sama kan? Kalau begitu mari kita tunggu bersama sampai semua terlihat terang benderang, tidak bisa dibantah lagi.


Meskipun sains mengejar kepastian, ketepatan, dan empirik oleh mata telanjang, tetap saja itu mustahil. Apa lubang hitam di langit apalagi ujung semesta terlihat jelas? Atau bisakah ilmuan memastikan posisi elektron di sebuah atom? Pengetahuan presisi memerlukan mesin waktu (pernah nonton serial Tyson di national geographic?) sedangkan dengan pemahaman, manusia cukup tegar mengelola data dan informasi yang tersedia berteknologi kekinian. Setiap manusia tidak hidup sepanjang masa menunggu hingga akhirnya sanggup menyaksikan dengan mata kepala sendiri -memang ada seseorang yang diberi keistimewaan umur panjang tapi dia kafir. Itulah hikmah dari alkisah eksistensi Dajjal dan manusia biasa tidak perlu iri.


Publisher, Influencer, dan buzzer yang bekerja melaporkan serta mendudukkan persoalan, bukan tugas mereka menghakimi. PR sederhana yang perlu dibenahi cuma cara berpikir yang benar. Otoritas klaim diserahkan kepada ahli tafsir (Al Quran) sekaligus mungkin seorang ilmuwan di bidang bersangkutan. Intinya perselisihan cocokologi dapat diselesaikan dengan kepakaran****.



Catatan :

*Jangan dulu meributkan tingkat ketelitian apalagi sambil mengenakan kacamata berlensa merah ala Kant

**Bukti yang dimaksud di sini setelah melalui ilmu tafsir, seumpama apa yang pernah dibahas Al Quran benar-benar kejadian di masa depan. Suatu detil yang tidak pernah diketahui tapi kemudian setelah diteliti oleh ilmuwan kontemporer benar adanya.

***Pemahaman pada suatu bacaan terwujud ketika dihubungkan dengan kumpulan pengetahuan-pengalaman dari bacaan sebelumnya. Jadi orang bisa saja menghafal seisi buku tanpa memahami. Bagaimana pengetahuan itu mungkin? Inilah pertanyaan yang dibawa mati Emmanuel kant yang diisi semacam kategori-kategori. Barangkali substansi pertanyaan yang diajukan Kant adalah bagaimana memperoleh pemahaman (ilmu). Kalau cuma mencari pengetahuan sebanyak mungkin (pengen tahu), Kant bisa melakukan traveling keliling dunia agar lebih pintar lagi. Apa buku-bukunya memerlukan itu?

****QS. An Nahl 43


[youtube]sAmp-kJrIGc[/youtube]

nb : link video di atas merupakan konteks pembicaraan dan tulisan di bawahnya bukan caption

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Waktu : Akal dalam Kecepatan Cahaya

Logika, Penalaran dan Tesis

Filsafat Bahasa