Belajar Menulis Puisi
Dalam rangka belajar menulis puisi, berikut kutuliskan catatan perjalanan yang dibuat sepuitis mungkin. Agak panjang hitung-hitung latihan.
Pemanasan di Ujung Pandang
kerja perdana
jiwa sempit lapangan luas
penghayat terbaik
gariskan diriku
Perbatasan Gowa
berwarna merah berlarut-larut
tak satu pun jual
spanduk tinggi tinggi
Kupikir Takalar lebih baik
lelaki tak semestinya
hujan reda kotak telepon
wisma pertama kami
di sampingnya
Jeneponto, apakah aku terkejut?
aku siap
Dengan kejutan Bantaeng
seperti lirik sebuah lagu
"Apa yang harus aku lakukan?"
Dari hari-hari kemarin
Bulukumba
setiap ketakutan
sama berubah
hentikan dan fokus
pada petualangan
Terapi sosial. Jalan-jalan menuju Sinjai begitu rumit. Seperti diriku sendiri. Menemui bermacam orang antusias tersendiri. Berhenti di pinggiran salami warung-warung. Mengerling cara mereka memandang. Mereka-reka warga setempat pikirkan. Orang jauh dari rumah. Yang belum memiliki rumah. Untuk pulang.
Perjalanan Bone lurus
tidak juga serius
tanganku otopilot
pikiran segala arah
sempat tangkap
momen tanpa
tanda-tanda kehidupan
orang bahkan hewan
jalanan kosong
tak ada bangunan
hanya keindahan
pohon pegunungan
aku sungguh sendirian
dalam pemandangan pameran
Poros Sengkang
beradu tanah gelombang
panas kering kadang becek
motor bebek keberatan
skuter juga
bisnis jalan terus
Siwa sekian lama
kota tua berabad namanya
luas ladang sawah mengering
orang-orangan
pohon tumbuh sendirian
di hamparan panggilku ke sana
bersandar lupakan masalah
apakah itu suara alam
hantu setempat
tunggangan kupercepat
Belopa kedengaran
desa tak dikenal
ternyata kota moderen
mewah nan elegan
aku sekadar lintas
tak lihat semuanya
sayang
Pegunungan di wajahku
serupa sketsa yang pernah kubuat
waktu sekolah dasar
sungguh anggap saja begitu
saya memang pintar menggambar
dulu
semakin kudekati Palopo
tebing tinggi kian dekat
salam kenal
hati-hati di jalan
Aku tak membenci Tator
tidak ke mana di dataran tinggi
pertama kualami perasaan ini
namun itu kunjungan istimewa
jamuan mengundang
aku pergi juga
Misi Enrekang
penjualan terbaik
dagangan habis
seperti bukan diriku
Kami adalah mesin
penjualan tak hirau cela
kutinggalkan Sidenreng
segudang masa lalu
mesin tak tahu diri
Limpah ruah debu Polewali
Suara-suara klakson mengerikan
tak surut kumampu
15 boks terjual
rayakan makan-makan
Gemerlap lampu Pinrang
kabupaten tak sekejam
satu undangan lagi
sungguh sebuah keluarga
kupinjamkan Nizar
tak kembali
Hingga Pare-pare
apakah perjalanan sia-sia
kutemui kakek di rumah bukit
tempat kenang masa lampau
kudengarkan ceritanya
nostalgia depresi
tibalah langit selalu mendung
jendela hotel adalah kanvas
tirai terbuka sebagian
kulihat lukisan hujan
dari sana cuaca membaik
kujual sekotak
di pasar dekat
Pangkajene aku
terlalu baik
mudah dimanfaatkan Akib
Pekerjaan
efek samping
kesalahan pemula
ingkar janji pelanggan
mengarang laporan
itulah rasanya
menjadi jahat
di Barru
Aku tidak rindu rumah -mungkin diriku merasa. Makan sendirian di warung Pangkep, terpaku di atas pesisir. Meja-meja penuh tulisan anekdot. Dengan tak tahu malu, aku mengakali menunya, agar lebih murah. Dan setelah semua itu -makan sambil melihat nelayan pemandangan laut, kukatakan kepada penjaga warung : sopnya enak.
Alam dengan kekerasan
hujan deras petir mengkilat
cuaca sejalan pikiran
Maros pulang berbasah-basah
*
Komentar