Cinta Kepada Allah (saja)

Allah SWT
sumber : google image (cc) store norse leksikon

Tuhan sesungguhnya adalah segala yang orang-orang percayai beserta semua manifestasinya. Dalam Islam, semua perkara disandarkan kepada pembuat hukum (kedaulatan Allah SWT). Apapun yang kita yakini (kekuatan pikiran) harus berdasar atas sesuatu. Itulah sebabnya aqidah Islam adalah kuliah psikologi terbaik yang dapat mempengaruhi psikis dan mental manusia muslim.

Anda percaya tuhan atau tidak? Bagaimana hubungan anda dengan tuhan? Itu sangat sensitif, mungkin yang paling sensitif atau biasa saja. Itu bukan pertanyaan, bukan sekedar pertanyaan atau bukan hal yang pantas (atau pantas saja) dipertanyakan secara terbuka. Ini soal pengetahuan, bukan cuma tahu tapi juga pemahaman, bukan sekedar paham tapi juga pelaksanaan yang konsisten demi situasi akhir (surga atau neraka). Percaya atau tidak dan bagaimana hubungan anda denganNya, itu rahasia anda. Walaupun tidak ada rahasia di sisi tuhan kecuali rahasiaNya. Menganut suatu agama tidak semata-mata memihak salah satu agama dari banyak agama. Percaya kepada pencipta bukan karena fanatisme buta atau memaksakan diri untuk percaya pada sesuatu tapi karena itu memang hal yang rasional dari pengumpulan informasi dan menyimak fakta-fakta tanpa prasangka  buruk. Orang akhirnya memiliki keyakinan berbeda-beda karena keragaman dan perbedaan informasi. Bukan soal religius atau tidak tapi hanya ada 2 pilihan : melaksanakan perintah lebih baik daripada membangkang –pada akhirnya- dengan pemahaman yang komprehensif tentang islam bukan hanya karena diturunkan dari keluarga (islam KTP). Memahami dan mencari tahu bukan hanya dari pelajaran agama di sekolah tapi juga memerlukan inisiatif yang luar biasa dari individu untuk mendapatkan informasi yang benar lalu mengamalkannya. 

Apakah Tuhan tidak adil? Benak seorang muslim tentu bertanya mengapa manusia yang terlahir muslim akhirnya masuk surga karena keislamannya sementara ada yang terlahir sebagai non muslim tapi berakhir di neraka karena kekafirannya, seolah-olah Allah SWT memberi petunjuk sebagian dan mengabaikan sebagian lainnya. Tuhan menjadikan mudah umat islam memasuki surga dan kaum kafir secara kultur lebih sulit ?

Cinta kepada Tuhan

Naluri fitrah kepada Yang Maha Kuasa akan selalu ada pada manusia meskipun manifestasi dari orang per orang berbeda-beda. Untuk sampai kepada cinta kepada tuhan, diperlukan informasi dan pengalaman. Namun, terkadang pengalaman spiritual mendahului informasi.

Keimanan absolut (qath'i) itu harus ada mukjizat. Rasul-rasul yang dikirim Allah SWT senantiasa membawa mukjizat yang kasat mata. Anda dapat membaca kisah-kisah mereka, terutama ulul azmi. Rasulullah SAW diutus bersama Al Quranul Karim dan As Sunnah sebagai mukjizat beliau. Oleh karena itu, perkara aqidah (kepastian iman kepada metafisis) harus ada dalil tertulis (inderawi) dan mutawatir baik dari Al Quran maupun hadits. Oleh karena itu, kegiatan sufistik (tasawuf) bergaya mistis tidak saintifik. Aktivitas iman kepada Allah dalam tarekat-tarekat kadang tidak berdasarkan hujjah objektif. Adapun keistimewaan terberi, misalkan mimpi bertemu Muhammad SAW, yang dialami segelintir orang/ulama merupakan pengalaman subjektif bagi dirinya sendiri ; khususnya lingkup aqidah Islam berkait tata cara dll. tidak sama sekali untuk diajarkan, karena itu tugas rasul dan Muhammad SAW adalah nabi terakhir.

Kata 'cinta' lebih tepat ditujukan kepada Allah SWT sedangkan untuk sesama manusia menggunakan 'kasih sayang'. Mengapa? Cinta itu sebenarnya sesuatu yang ghoib sehingga hanya layak untuk Yang Maha Ghaib. Itulah sebabnya perasaan suka yang misterius dan berjuta rasanya kepada lawan jenis sempat dianggap cinta karena tidak logis dan tanpa banyak syarat. Mungkin karena rada ghoib. Di sinilah urgensi Pusat Bahasa di Indonesia.

Terus terang, aku lebih merasa takut kepada Tuhan daripada cinta padaNya (mungkin belum). Kalau tidak salah, saya pernah mendengar ceramah yang mengatakan muslim juga non muslim akan cinta kepada Allah SWT bila mereka sungguh mengenal Islam (syariah) karena Dia yang menulis karya agung : Al Quran, kemudian mengilhami ditulisnya hadits, ijma sahabat, dan ijtihad. Love isn't blind, katanya. Kata 'takut' sebaiknya hanya ditujukan kepada Allah SWT sementara perkataan 'cemas' dan 'khawatir' mengacu pada sebelum dan setelah peristiwa sehari-hari.

Tiga pengandaian 

1. Seandainya tidak ada yang namanya tuhan/pencipta

2. Seandainya memang tuhan itu ada tapi Dia tidak ‘mengatur‘ manusia soal ini-itu dsb. (tdk ada kitab suci sebagai petunjuk)

3. Tuhan wajib adanya untuk mengatur ciptaanNya dan eksis (tunggu pembalasanNya!)

1. Ketiadaan Tuhan berkonsekuensi semua yang ada tidak pernah diciptakan dan terjadi begitu saja serta tidak ada hari pembalasan (surga dan neraka). Manusia akan hidup tanpa takut akan “sesuatu” yang mungkin lebih kuat dan Maha Segalanya maka lahirlah tirani-tirani yang memiliki kekuatan/kekuasaan duniawi. Setelah periode kematian tertentu mereka ada yang secara lahiriah beruntung merasakan nikmat  hidup di dunia dan ada pula yang merasa hidup sia-sia.  Mereka yang dulunya korup, kriminal,  dsb. dapat mati dengan tenang sedangkan mereka miskin, menderita  dan sebab-sebab  struktural lainnya mati penasaran. Bukankah ini tidak adil   ( tidak ada pembalasan ) dan tidak rasional. Kita tidak mungkin mengharapkan pembalasan yang ada di dunia karena sesuai idenya (tidak ada tuhan) maka tidak yang namanya keajaiban (dari yang Maha Gaib). Jika manusia (sejumlah orang) menderita karena menjadi bagian dari rantai makanan (dimakan makhluk lain) maka ini masih dapat diterima (masih logis) tapi jika sebagian besar penduduk dunia menderita karena manusia lainnya secara sengaja dan sistematis (struktural). Para tiran dan kriminal tentu iya-iya saja tapi bagi para korban mereka atau mereka yang terlahir miskin akan menderita begitu saja (enak aja!). Ini tidak dapat di terima dan harus ada ‘sesuatu’ timbal balik (kesetimbangan). Pengandaian ini tidak rasional dan tidak sesuai akal sehat.

2. Seandainya tuhan memang ada tapi Dia tidak ikut campur terhadap urusan manusia (tidak ada petunjuk/kitab suci). Bisa juga dianggap bahwa Tuhan mengatur alam semesta kecuali mengatur manusia. Dia menciptakan manusia lalu membiarkan manusia belajar sendiri dan mengatur diri mereka. Manusia merusak alam atau melakukan perbuatan buruk dan banyak korban penderitaan manusia lainnya lalu Tuhan diam saja (tidak akan ada ganjaran). Lalu apa gunanya ada Tuhan? Itu cuma omong kosong para filsuf, ”Ah! Teori” Seperti kata para pesakitan “Tuhan di mana?” Lalu meskipun kemudian ada yang namanya hari pembalasan. Para pemabuk di neraka akan bertanya “Engkau tdk pernah bilang minuman keras dilarang?” Ide ini sulit diterima.

3. Tuhan memang ada bahkan wajib adaNya. Ada sebagai penyebab keteraturan universe. Dia menata segala sesuatu termasuk manusia. Meskipun demikian, Manusia sangat ingin melihat (kasat mata) tuhan agar mereka dapat meyakini bahwa tuhan benar-benar ada. Allah SWT menurunkan kitab suci untuk mengatur manusia sepanjang masa. Akhirnya, permasalahan eksistensi tuhan telah selesai. Berikutnya adalah mencari petunjuk mana (kitab suci apa?) yang harus diikuti.

Al A’raf 120-123 : kurang hebat apa Nabi Musa sanggup membelah laut merah?

Firaun adalah kasus istimewa yang representatif menjelaskan kediktatoran fasisme. Walaupun telah ditampakkan mukjizat di muka kasat matanya, dia tidak mau percaya. Padahal, jika dibayang-bayangkan bukan-sulap-bukan-sihir itulah bukti pamungkas yang dapat membuat semua manusia hidup di permukaan bumi berbondong-bondong beriman kepada Allah SWT. Benar 'kan? Jangan minta bencana alam atau UFO. Dalam sejarah dan banyak riwayat memang butuh berapa mukjizat? Jadi, tidak usah tanya kenapa tuhan tidak muncul begitu saja supaya kita semua percaya. Terserah Allah Yang Maha Tahu, kita tidak boleh ngatur-ngatur Tuhan.

Hal ini termasuk peristiwa inderawi melihat kematian orang yang dicintai dan fakir miskin kelaparan, lantas menganggap tidak ada Tuhan yang membantu mereka. Selain ketidakmengertian pada apa yang disebut sunnatullah, mereka kekurangan informasi valid dan terpercaya yang membahas perkara gaib sehingga gagal melakukan abstraksi mengenai semesta manusia, sebelum dan sesudah kehidupan.

Saya juga pernah menyimak diskusi intens mengenai tuhan dalam sebuah kajian pemikiran Nietzche dan itu agak lancang (menurut pandangan sy). maksudku coba perhatikan orang-orang yang memilih kesalehan, orang yang hijrah. mereka sempat melalui suatu pengalaman spiritual atau menemui hal gaib, semacam keajaiban tak terdefenisi. Dan sayangnya ; peristiwa ini terjadi hanya pada sedikit orang. Segelintir orang termasuk Musa a.s., Isa a.s., dan Muhammad SAW. Pertanyaan kunci di sini adalah bagaimana bila semua manusia -akhirnya- bisa melihat Tuhan sekarang? Melihat kekuatanNya secara langsung bersama-sama (objektif) melebihi superhero manapun. Tentu semua manusia akan beriman. Jadi realitas 'ada' saat ini sungguh begitu sederhana yakni kebanyakan manusia tidak pernah menyaksikan Tuhan secara kasat mata atau tidak pernah mengalami fenomena gaib untuk dipercaya (termasuk aku). Mayoritas populasi bumi bertahan dengan sains dan teknologi, kepada hal-hal yang tampak.

Peran akal sebagai sarana untuk memahami. Penalaran mencari sumber informasi* dari alam gaib guna mengerti sepenuhnya realitas metafisik, hakekat sebelum kehidupan (bigbang, penciptaan dll.), makna manusia, kemanusiaan, arti hidup, lalu kematian hingga surga/neraka. Oleh karena itu, akal adalah alat yang mulia menjembatani tangga menuju Yang Maha Gaib yang tidak terjangkau inderawi (beyond). Tentu sangat gampang (instan) manusia dibuat beriman kepada Allah SWT hanya dengan melihat mukjizat atau hal-hal gaib. Manusia juga diharuskan menggunakan potensinya (akal pikiran) yang membedakan dengan makhluk lain ; tetumbuhan, hewan, bahkan malaikat. Demikian pula Jin di dimensi berbeda, tidak diciptakan selain menyembah kepada Allah SWT.
 
Lantas, apa urgensinya mempercayai tuhan secara empiris saintifik bila sejarah membuktikan banyak orang yang berhasil mengindera mukjizat Allah SWT memilih tidak patuh dan taat (bertaqwa)? Iblis kan dulu begitu, bahkan ketemu Allah langsung, jelas-jelas tahu siapa tuhan dan siapa yang berkuasa. Diperintah sesuatu, gak mau. Jadi tidak sopan ujuk-ujuk mendesak Ya Allah mengapa Engkau tidak menjadikan semua manusia beriman, mengapa Engkau tidak memberi hidayah di sana-sini?

Beriman itu tidak cukup. Apakau kau akan dibiarkan masuk ke dalam surga tanpa mengalami ujian seperti orang-orang sebelum kamu? Begitukan bunyinya. Agnostik dan sekuler paling banter ke neraka dulu baru dipindah ke surga. Apakah saya harus berbicara dari perspektif sang pencipta? Kalau aku tidak yakin kau bakal bertaqwa/bersyar'i (mentok diimani saja), ngapain kau susah-susah dibikin beriman. Allah SWT lebih tahu siapa yang dikehendakiNya. Beruntunglah sesiapa yang menjadi muallaf di masa injury time. Kata Al-Quran, Allah Maha Tahu dan kita diberi tahu sedikit, syukur-syukur kita lebih pintar daripada malaikat seperti nabi Adam allahissalam (yang mendapat informasi-sebelumnya dari Allah SWT). Di sinilah peran akal dan anda juga harus punya inisiatif menyingkirkan apa-apa yang bisa menutupi akal, baik berupa kebendaan maupun perbuatan.

Last but not least, sebagian besar manusia di dunia tidak beruntung dihamparkan media massa mainstream yang menjauhkan orang-orang dari informasi tepat dalam menjelaskan segala hal. Oleh karena itu, mulai sekarang gunakan otakmu karena bisa dilihat dan disaksikan tidak pernah cukup. Akal adalah alternatif sebelum akhir masa jabatan hingga akhir zaman.

Note :
*saya menyebut sumber informasi karena wajib menguasai ilmu Al Quran termasuk bahasa Arab baku agar tidak ditafsir sembarangan oleh orientalis dan muslim toleran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Waktu : Akal dalam Kecepatan Cahaya

Logika, Penalaran dan Tesis

Filsafat Bahasa