Pengamat dalam Tempurung
Saya selalu percaya orang yang memahami problematika dan berani mengkritik seharusnya bersedia mengambil peran memimpin (eksekutif) selama tidak uzur dan tanpa kendala kesehatan. Selain itu, Presidential Treshold harus 0 persen.
Di zona aman pengamat politik, ekonomi, hukum dll. pertemuan duo Refly Harun dan Rocky Gerung mengulang-ulang dialog republik sejak Romawi kuno hingga sekarang terus mirip-mirip sampai 1000 tahun lagi. Bila orang-orang berniat baik juga terbaik di bidangnya tidak mengajukan diri, orang lain yang tidak punya iktikad baik dan buruk kompetensinya bakal mengambil posisi memerintah. Ajukanlah diri, diterima atau tidak, lepas tanggung jawab kritikus. Ini seperti dakwah.
Kemunculan orang-orang kritis sudah seharusnya merupakan awal kelahiran pemimpin masa depan. Ada Bung Mardigu, Mas Faisal Basri juga. Anies Baswedan sudah punya pekerjaan. Mereka semua harus berinisiatif mencalonkan diri sendiri mengikuti jejak pendahulu sebagai calon Presiden atau menteri problem solving. Harus eksplisit ibarat Rizal Ramli ngomong dan tingkah Gatot Nurmantyo ke mana-mana seolah mengatakan, "Sayalah pemimpin kalian.", malah tidak usah merendah sama sekali. Jangan mendahulukan komunikasi baliho, bicaralah di media visual zaman now: televisi dan Youtube. Biarkan masyarakat menatap mata yg tulus. Kecakapan seorang pakar/ahli di bidang spesifik lebih dihargai dan berpeluang daripada buzzer status quo.
Anda wajib tahu kepercayaan diri pimpinan luar biasa pengaruhnya -psikologi massa. Mengapa pembawaan Soekarno bisa sangat menular di dalam negeri sampai manca negara? Habib Rizieq juga demikian. Anda tidak mesti orator ulung. Cukup bersikap eksplisit bahwa anda tahu caranya dan orang yang tepat membereskan masalah. Pengamat harus terus terang keluar dari tempurung (out of the box), juga secara harfiah (menjadi praktisi).
Jika para pemerhati politik ekonomi dll. berhasil melewati tantangan itu -mengucapkan bahwa merekalah yang harus dipilih- mereka telah meninggalkan katak-katak nyinyir dalam tempurung (dengkul). Justru merekalah calon pemimpin yang tahu diri karena telah menghabiskan sebagian masa hidup belajar, dan kini berusaha lebih berguna.
Trias Politika
Dalam perbincangan Refly Harun dan Rocky Gerung juga dibahas urgensi hidup berdemokrasi. Di dunia ketiga, kita sering mengatasi kekeliruan dengan kekeliruan lain. Hakekat kepemimpinan negara sesungguhnya adalah pelaksanaan pemerintahan bukan pergantian pemimpin atau pembatasan masa jabatan. Demokratisasi dan representasi hanyalah instrumen bukan tujuan, jangan error! Ngapain kita sibuk-sibuk gila pesta dan melupakan substansi. Tujuan adanya pemimpin kabinet beserta peralatan lengkap demi hasil kerja, memang untuk apa lagi? Gagah-gagahan? Begitu pula trend dunia pada misi menggolkan perempuan-memimpin (presiden perempuan).
Suatu kondisi dan situasi apapun itu bakal selalu ada pihak yang mendapat cuan. Diutak-atik bagaimanapun selalu begitu. Siapa yang tidak percaya berarti dia komunis (atau kelak fasis yang diuntungkan). Ini seperti sunnatullah kaya dan miskin. Memanfatkan kelebihan adalah hal yang alami. Taruhlah kemungkinan terburuk terjadi seorang pemimpin melampaui batas (memperkaya diri dan bermewah-mewah) sementara standarisasi taraf hidup warga negara tetap berlangsung : kesejahteraan rakyat termasuk di dalamnya kebebasan bertanya dan mengkritik. Hanya karena pihak luar tidak bisa mengambil keuntungan (kapitalisme + fasisme global ; dan hingga detik ini, seorang presiden tidak bisa bilang tidak pada pelobi), ramai debat filosofis tentang siapa dirugikan atau apa merugi. Sesuatu yang tidak konkret. Bila presiden atau kementerian gagal, langsung diganti. Suatu mekanisme yang dekat dengan parlemen monarki konstitusional, atau bahkan khilafah.
Dengan Trias Politika dan konsep oposisi dalam negara Kapitalis, tidak adakah yang dapat dipercaya sepenuhnya? Sebuah hadits menunjukkan jika 3 orang berserikat atau bepergian maka diwajibkan memilih seorang pemimpin di antaranya. Trias Politika di negara tetangga tiga orang itu ketiganya menjadi pemimpin sekaligus bersamaan. Eksekutif, Legislatif, dan yudikatif, adalah 3 lembaga yang relatif sejajar dalam sebuah negara. Kehidupan politik diliputi oleh keraguan, ketidakrelaaan, kecurigaan terus-menerus dan pengawasan satu sama lain. Telah jelas apa yang menjadi kewajiban pemegang kekuasaan/pemerintah. Hal-hal yang dijanjikan waktu kampanye tidak perlu menjadi janji karena sebagian besar merupakan ‘kewajiban’ dan perkara yang jelas mengenai tanggungjawab pemerintah memenuhi kebutuhan primer.
Berbeda dengan sebuah negara beridiologi Islam -setidaknya sistem parlementer bagi yang belum mampu- yang dipimpin oleh satu lembaga, seorang terpilih telah jelas keunggulannya dari beberapa manusia lain dan direstui oleh beberapa orang-orang ahli dalam agama serta dikenal masyarakat luas (hidup kepakaran!)
Sampai di sini terjawab, "Orang dulu atau sistem dulu?" Dahulukan perbaikan sistem. Caranya yaitu mengkodifikasi sumber-sumber hukum terbaik dan sempurna menyelesaikan problematika kehidupan menjadi peraturan. Tidak adakah manusia yang dapat dipercaya? Bagaimana konsep oposisi? Kekuasaan manusia diimbangi oleh kesempurnaan sistem. Jadi kembali pada kedaulatan hukum (Schmitt).
* Penyebutan idiologi Khilafah keliru. Khilafah bukan idiologi (mabda) melainkan metode/cara (thariqah) menerapkan ide-ide. Ia bisa dipakai demi tujuan idiologi manapun dengan penamaan dan varian berbeda. Dalam sejarah, semua corak pemerintahan di dunia nyaris sama termasuk khilafah, ibarat beberapa komponen utama di papan induk yang mewakili fungsi-fungsi tertentu. Desain negara dan derajatnya (power) saja berbeda-beda, contohnya Republik Islam Iran bercorak Khilafah tapi azaznya bukan Islam melainkan Syiah.
Dan percayalah, semua varian itu bisa memusat (otoritatif) dalam situasi genting (Giorgio Agamben) karena faktor tunggal (kedaulatan). Pertama tentu kerajaan oleh kebangsawanan dan kepahlawanan (epic), kedua demokrasi si raja representasi (mayoritas), dan ketiga teokrasi wakil dewa/tuhan. Semua bentuk negara tersebut bekerja di motherboard serupa yang digunakan bendera-bendera di seluruh dunia.
Setelah memenuhi syarat sebagai sebuah negara : ... pastikanlah hal-hal berikut : Ide utama, filosofi-kedua, dan metode-ketiga.
Isme, metode, uslub, wasilah
....
Res publica
Negara res publika hanya perlu diimbangi oleh pers bersenjatakan pengkhianatan-intelektual (muhasabah), tidak perlu trias politica.
Apakah suatu pengkhianatan intelektual apabila kaum intelek tidak memilih mengemban ide dan penyelesaian terbaik? Lebih daripada pengajar (tukang-transfer knowledge), juga pendidik. Tidak sekadar menjadi perpustakaan berjalan tetapi juga aktivis pendidikan politik.
Maksudku cara memperoleh ilmu seperti itu lebih efisien. Kita mencari dan membaca sekian banyak bahan dan materi. Kenapa tidak langsung mengambil yang terbaik dan dipraktekkan? Sehingga pelajar dan pembelajar tidak membuang waktu mengulang-ulang dan punya luang menambah ilmu-ilmu lain.
“Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).
"Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum muslimin." (Hadis Riwayat Al-Hakim).
Kompetensi menjadi perhatian khusus dalam Islam. Intinya, berdasarkan hadits di atas, serahkan urusan pada ahlinya, berdasarkan kompetensi, keilmuannya, bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan.
Demokratisasi bagian dari Islam Res Publika
Demokrasi dan Republik sesungguhnya tidak sejajar, bahkan tidak nyambung, tidak seukur atau tidak dibanding-bandingkan (not apple to apple), Demokratisasi uslub sedangkan Res Publika di tataran Isme, dua tingkat di atasnya. Res publika tergolong sederhana bukan pemikiran muluk, hanya soal mempercayai kepakaran. Ia lazim diukur dari kepopuleran dan track record. Namun, sebagai wacana akademis ketika keduanya diletakkan di atas neraca, Republikan diberi pemberat : konservatif (peyorasi)
Pengkotak-kotakan salah satu penyakit demokrasi yang diajarkan sejak pascaperang Diponegoro oleh oknum orientalis aka indonesianis, padahal representasi dan voting dalam Islam termasuk persoalan teknis di lapangan, turunan dari strategi, dan tidak keluar dari prinsip-prinsip keislaman. Sifat-sifat dari demokrasi (demokratis) dapat menjadi bagian dari Islam. Meskipun demikian, memilih taktik yang tepat juga merupakan keharusan (kaidah kausalitas). Aqidah Islam menjadi bekal sementara cara-cara beserta perlengkapannya (sains) himpunan tuntunan itu.
Polarisasi menggerogoti kewarganegaraan mewujudkan persatuan dan kesatuan dengan memecah-mecah, melahirkan wacana baru 'keadilan' yang tidak berdasar dan proporsional. Kita diperdengarkan ada Islam santri, islam abangan, dan priyayi, kemudian muncul varian Islam modern dan tradisional. Pada prakteknya timbul angan-angan dibenak publik atau sinyalemen pengamat : Santri tidak boleh dibiarkan berkuasa atas abangan dan priyayi. Islam-kanan tidak bisa memimpin warga nonmuslim, militer vs sipil dsb. Tuntutan harus hadir perwakilan di pemerintahan lantas pada gilirannya mencederai hukum-hukum konstitusi dari sumber Islam yang jelas dalilnya.
Oleh karena Islam punya solusi kenegaraan inilah sebab pemimpin muslim (baca : pakar Islam) dipercaya memerintah. Ketika mafahim terbentuk, rakyat biasa cukup berpatokan kepada perkara basic. Penguasa kita shalat tidak? puasa, zakat, dan meninggalkan larangan agama. Demikian pula apabila agama-agama lain kitabnya mengandung chapter dan ayat tentang manajemen dan administrasi mungkin dipertimbangkan masuk dalam kodifikasi asal tidak bertentangan dengan dasar negara.
Sosialisasi politik identitas 2 in 1 (Jawa=Islam) sebagai respon atas politik identitas anti-arab dari Islam Nusantara. Jadi Islam tetap diawetkan, meskipun tumbuh antipati kearab-araban. Kesukuan/kebangsaan kemudian digunakan sebagai salah satu praktek demokratisasi (uslub) bagian dari metode (thariqah) Islam res publika.
Orang Jawa harus menjadi generasi baru, manusia baru, dan masyarakat baru. Sampai kapan mayoritas penduduk Indonesia berkarakter dongeng. Itu pun tidak asli Jawa, dari India (Ramayana dan Mahabharata). Paling tidak keteladanan mereka seyogyanya mengacu pada tokoh-tokoh sejarah nyata : prakemerdekaan, pascakemerdekaan, Soekarno dan Soeharto. Kepriyayian ngaco seperti dininabobokan etika budak. Falsafah timur juga filsafat-kedua termasuk filsafat Jawa.
Tokoh-tokoh awal penyebaran Islam di Jawa datang membawa agama dan teknik pertanian. Di masa itu, cerita kepahlawanan dan pertunjukan seni adalah pop culture bersama seni rupa dan arsitektur bangunan penyemangat zaman. Contohnya Borobudur dan candi-candi populer lain.
Pascaperang Jawa, dimulailah perang pemikiran dan politik pengetahuan. Imperialis Belanda mengerahkan kaum bangsawan (keraton), raja-raja dan priyayi menulis ulang bermacam serat sastrawi dan dilawan oleh para sunan dan ulama lewat medium kesenian yang mengandung nilai-nilai agama.
Transliterasi ...
Sesungguhnya yang mereka gugat adalah idiologi Islam. Iya khilafah memang kepemimpinan tunggal (metode) tapi berdasarkan kompetensi dan berkedaulatan hukum (Alquran dan sunnah)
Referensi :
Refly Harun - Yt
Rocky Gerung Official - Yt
Tvone
sumber hadits : risalahislam.com

Komentar