Semiotika Ofensif
Gaya bicara 'menjerang' biasanya lahir dari rasa tidak nyaman, insecure, dan tertekan pada sikon tertentu atau tidak lebih merupakan karakter (korelis) dan sikap mental individual (otak-reptil). Gaya komunikasi ofensif dan kompetitif sering juga berlaku sebagai taktik bertanding atau peperangan. Dalam hubungan internasional (diplomasi) pun dipakai dalam perundingan guna menekan lawan demi kebijakan tertentu sebelum memperoleh kesepakatan.
Intinya mengetahui kelemahan lawan sebelum bertemu dan saat saling berhadapan muka :
1. Mengungkit kelemahan/kesalahan masa lalu lawan di awal perjumpaan
2. Mengambil keuntungan sewaktu lawan membuat kesalahan di pertemuan itu
3. Mempertahankan emosi lawan tetap tinggi demi menantikan kesalahan lawan di masa depan
Suasana batin orang dibentuk oleh hubungan yang oportunistik. Dalam tingkat tertentu, atmosfer itu dapat memotivasi etos kerja. Anda berpacu didorong agar tidak melakukan kesalahan elementer sekecil apapun. Simbolisasi intens terkadang mengundang pembenaran dari subjek sendiri, dan tidak objektif.
Semiotika membuat komunikasi sehari-hari kacau terutama bagi orang yg tidak punya kawanan, kecuali mungkin di level persahabatan yang telah sangat lama diakrabi. Pergaulan berbudaya semiotik itu berat, tensinya tinggi hati, dan tidak alami. Itu sebabnya obrolan dan corak interaksi lebih banyak menyasar orang ketiga agar tidak berkonflik. Sulit terjalin afeksi sehingga orang-orang memelihara jarak atau menunggu momentum. Individu tidak menarik diri karena menjaga imej (jaim). Orang harus sering memendam (atau mendendam) dan berangsur-angsur orang per orang menjadi individualis. Ini tentu paradoks dalam etika ketimuran.
Gaya komunikasi ini anehnya marak di semua lapisan masyarakat karena tidak adanya chemistry (tidak latto') di tengah pergaulan. Anda dapat berasumsi kekakuan itu hanya terjadi di perkotaan (metro- megapolitan) dalam iklim persaingan pengaruh dan pencaharian. Namun, komunikasi yang cair tidak terlalu berkaitan dengan kaya-miskin, meskipun punya andil. Potensi bentrok lumrah di kalangan suami-istri dan tatanan tua-muda.
Dalam sosiologi barangkali budaya semiotik hanya bisa diatasi dengan ketidaksetaraan struktural dan status sosial semisal sistem kasta. Maka berlomba-lombalah orang menjadi pegawai negeri dan pejabat teras. Apalagi, riwayat pengkotakan dan strata sosial memang telah eksis bentukan kolonial.
Adapun tradisi senioritas di perusahaan dan dunia pendidikan, apa yang sukar dipahami korelasinya ialah peningkatan konformitas berbanding terbalik dengan keikhlasan berbagi. Pewarisan aset dan keilmuan tidak mulus seumpama seorang suhu shaolin tidak rela mengajarkan semua jurus kepada murid-muridnya, paling tidak ada pilih kasih, tapi begitu seterusnya turun temurun. Kepada sesama saja kita bersaing, apalagi terhadap kemajemukan lain.
Budaya semiotik dapat terintegrasi pada kediktatoran sistematis seumpama di sebuah ‘negeri realistis’. Suatu data center (badan-intelijen-tak-jelas) mengoperasikan legal/illegal surveillance dan mempersenjatai unit-unit sosial tertentu dengan data-informasi privasi orang lain. Selamat datang di metaverse!
Komentar