Akal Sehat menuju "Common Sense"
Tulisan ini menanggapi Sidang Kritik terhadap Politisasi Akal-Sehat RG dkk. di channel Youtube LSF Discourse. Perbincangan dibuka dengan tilikan filosofis dari Muhammad Al Fayyadl dengan ringkasan sebagai berikut : Diskursus akal sehat merupakan ranah abu-abu antara kehendak (niat) dan moralitas objektif. Ada empat aliran pendirian mendefinisikan
Tr 1. Tradisi romantik liberal
- Sensus communis diterjemahkan menjadi comon sense di Inggris abad 17 oleh Shaftesbury dkk. (freethinker) : ekspresi tanpa egoisme dari spontanitas keluhuran budi manusia, tidak ada kepentingan yang mencemarinya.
- Revolusi Perancis : akal mengandung unsur emosi (kalbu) anti skolastik gereja
2. Konsep akal sehat era modern
- Emmanuel Kant : kemampuan universal menilai baik buruk termasuk koreksi mengukur diri dan estetis indah-tidak indah. Prinsip kebebasan berdasar kemanusiaan mengikuti kebaikan bersama (kemaslahatan). Tidak mungkin orang sepakat menyakiti diri sendiri. Kritik sosial harus sejalan dengan moralitas -tidak boleh menyakiti orang lain.
-- Rawls
Nalar publik (public reason) yang diperoleh dari percakapan di ruang publik politik dan difasilitasi pemerintah (lembaga negara). Akal sehat dimanifestasikan oleh nalar publik di ruang-ruang itu.
3. Tradisi kiri
- Rosseau
Representasi kehendak umum/publik misalkan borjuis mendengar kaum buruh. Feodal mendengar petani
- - Foucoult : penentangan terhadap orang tak berakal sehat (psikoanalisis)
4. Tradisi res publika
Siapapun orang sehat wal afiat punya akal sehat tapi harus berbasis kepakaran.
Dari tilikan filosofis tersebut basis pemikiran tentang akal sehat sejak dahulu kala senantiasa politis. Namun seiring perkembangan zaman, dengan peningkatan akurasi alat-alat penyelidikan, dan penambahan data informasi diharapkan tercapai common sense yang lebih presisi.
Sesungguhnya akal sehat tidak bisa dijabarkan secara matematis (silogisme) -bakal bolak-balik tanpa ujung apapun konteksnya : partikular/universal dll. Islam diketahui langsung menyelesaikannya dengan menjadikan akhlak (moral, maslahat, dan nalar publik) bagian dari hukum (syara') kemudian perselisihan lanjutan/sempalan diselesaikan oleh pemimpin (kembali ke syara'-hadits). Dengan kata lain, kedaulatan selalu menjadi sentral.
Penyebab diskursus filsafat sulit keluar dari platformnya (akademik) ke media massa karena ia tergolong 'berpikir lambat' (An Nabhani) dan kata Al Fayyadl filsafat itu wacana kritis dan bebas berbalas. Ia 'elektron-atomis' dan harap dijaga kemurniannya tetap-di-sana. Interpretasi ke muka publik butuh pengemasan yang sangat baik, dengan abstraksi dan kembali penyederhanaan. Justru debat sepele dan dalam yang selalu relevan (kearifan lokal). Namun sebenarnya, semakin kekinian pemikiran manusia, realitas sukar menjadi representasi dari semua diskursurs dari zaman pra Yunani Kuno, dan seyogyanya dibalik : kuasai faktanya then happy libraring!
Telah berlangsung, evolusi pencerahan manusia. Ini mungkin sulit diterima, karena bagi Islam manusia adalah makhluk dan tidak maha tahu. Oleh karena itu, hendaknya tradisi berpikir sains eksakta filosofis tidak memperlambat revolusi pemerataan dan percepatan kecerdasan berkat kemajuan teknologi informasi.
Mengenai kritik kepada kuliah akal sehat ala Rocky Gerung ; telah dicari dan sidang kritik tidak menemukan karya filsafat yang mendasarinya, kata Dhofir Zuhry. Akal sehat memang tidak mewakili kajian filsafat tertentu. Dalam permasalahan non eksak (gray), orang-orang harus menyelidiki faktor-faktor pendorong (kaidah kausalitas) ; mungkin dibantu peralatan sains -bukan pendekatan, dan tidak keburu mencari dasar teoritis. RG dkk dan sidang kritik memungkinkan zooming dan berdialog menyelesaikan menu utama, dengan memetakan semua kausalitas yang dibumbui pemikiran filosfis.
sumber : wikimedia commons
Akal Sehat dan Common Sense
Penulis telah mendapat referensi tambahan dari Martin Suryajaya (Youtube) dan Banin D. Sukmono (LSFCogito.org). Al Fayyad telah menelusuri sejarah terminologi, Martin mengupas secara padat menyeluruh, dan Banin memperketat defenisi dari segi bahasa dan pemaknaan. Dari pemaparan ketiga pemerhati filsafat itu, dapat disederhanakan bahwa sebetulnya akal sehat yang dimaksud adalah jalan menuju pengetahuan umum publik berupa perkakas nalar dan cara-cara praktis ; atau, sedang dipelajari dan terus berproses. Seorang Irfan Afifi menggunakan istilah "suluk" untuk pribadi individual sedangkan bsgi khalayak Martin menyebutnya 'pedestrian'.
Setelah menyimak berbagai penjelasan mereka berpanjang lebar, akal sehat dan perasaan umum tidak mungkin dipertentangkan seperti memisahkan jalan dan tujuannya. Kesalahterjemahan pula berlangsung di kamus atau translator. Ada pencampuadukan pemaknaan antara sikap mental dan resultan dari proses berpikir. Peralatan dan langkah-langkah bagian dari hasilnya (output) tapi dari segi bahasa dan makna tidak sama. Common sense hanyalah sebuah istilah biasa tentang sesuatu yang dapat diterima secara luas. Orang cuma harus sadar -tanpa kendala kesehatan fisik otak dan mental- terhadap variabel dan faktor pembentuk akal sehat. Salah satunya pembuktian saintifik. Apapun tidak boleh langsung-jadi common sense jika tidak akan mewujud penganiayaan (dzalim). Jangan juga sampai anda bilang common sense tidak ilmiah. Pernyataan tersebut tidak fokus.
Cara sederhana memeriksa common sense :
Pertama validasi
Anda harus mampu membedakan hermeneutika IPA dan IPS, serta bagaimana IPA terkadang elemen vital bagi IPS. Ketahui dan pahamilah teori praksis (Hermeneutika William Dilthey dan seni ketidaksepahaman Habermas)
Kedua kausalitas
Menelusuri kemungkinan sebab musabab dalam artian menguasai fakta. Kelemahan pendekatan saintifik : nonteknis, ada di otoritas (rekayasa, hoax, dan abuse of power) dan end user (take it for granted). Ketika faktor-faktor teknis (malpraktek) dikesampingkan, di sinilah salah satu urgensi sains harus kembali ke koridor pengetahuan (knowledge), selain kesementaraan. Pengetahuan itu dalam hal ini common sense (social control) termasuk di dalamnya media mainstream, media massa alternatif, dan lembaga riset independen (second opinion) menghadapi tantangan semisal terorisme-negara.
Ketiga kepakaran
Selain kausalitas, common sense follow the expert. Tentu merupakan akal sehat pula people mengikuti pendapat ahli. Resiko kekeliruan common sense hanya terjadi dalam kondisi bersyarat : sang ahli tidak teliti atau berbohong dan di pihak masyarakat tidak menyerahkan urusan kepada ahlinya, termasuk memilih pendapat mayoritas orang terlepas dari konten dan konteksnya. Perubahan common sense tidak bisa disalahkan karena pergeseran waktu dan ketidakmajuan alat ukur, dengan kembali berkata common sense tidak saintifik bla bla bla....
Akal sehat dapat diwakili oleh metode rasional diperbantukan sains menghasilkan pengetahuan (common sense). Ilmu hanya sebagai konvensi standarisasi temporal. Secara imajiner kembali menjadi pengetahuan agar ilmu-pengetahuan tidak bekerja sebagai instrumen kekuasaan (Nietzche), terutama sejarah, baik itu bagi rezim sebuah negara maupun rezim publikasi tertentu (kuasa rasio).
Referensi :
Mojok - Youtube
Banin D. Sukmonon - lsfcogito.org
Martin Suryajaya - Youtube
LSF Discourse - Youtube
Salihara - Youtube

Komentar