Filsafat Disederhanakan

 

                          gramedia online

Syarat-syarat pencarian kebijaksanaan sebagai ciri utama filsafat ialah kritis, radikal, reflektif dan integral. Filsafat sebenarnya hanyalah istilah keren dari penalaran atau proses berfikir alami sehari-hari. Saya menyimpulkan begitu dari penjelasan Martin Suryajaya mengenai dua posisi filsafat : di garda terdepan dan paling belakang dari posisi ilmu pengetahuan empiris saat ini, bahwa filsafat telah hadir sebelum pengetahuan apapun. Namun, ketika informasi dan pengalaman lengkap terkumpul, celakanya filsafat meniadakan lagi semua itu -sungguh tidak bijaksana.

Permasalahan filsafat dimulai dari rasionalisme Plato dan empirisisme Aristoteles, lalu ada hipotesis-observasi dari Galileo + observasi-matematika dari Newton (renaissance) kemudian diulangi oleh rasio Spinoza, logika Leibniz, lantas dibantah lagi oleh Hume + Locke (18M) yang empiris hingga Kant berusaha menyatukannya. Poin pertama ialah mereka seolah-olah diberi komponen-komponen terpisah dari gadget lalu saling mengklaim itulah bagian utama atau itulah 'barangnya' (akal/nalar) dalam rentang waktu panjang; padahal, apa yang mereka maksud (epistemology) merupakan sesuatu yang alami sejak manusia ada yaitu berpikir menjalani pengalaman, lalu pengalaman menjadi informasi. Informasi-sebelumnya kemudian dipakai untuk melanjutkan proses kehidupan dan seterusnya hingga menjadi silabus dan buku manual sampai sekarang. Poin kedua mereka tidak memilah antara subjek manusia dan teknologi eksak. Pola pikir sains semisal mencari-cari unsur terkecil dari benda sampai kepada atom atau menemukan dasar-dasar biologi seperti sel atau gen. Metode berpikir ini dipakai untuk mengais-ngais hakekat penciptaan, 'dunia lain', dan materi universal yang tidak dapat dindera.Jadi dua kebiasaan kontradiktif 'filsafat' yang saya pelajari :
1. Mempertanyakan 5W1H perkara gaib yang sulit atau mustahil dijangkau akal. Misalnya mengenai 'ada', makna-makna hidup, dan misteri kehidupan kenapa, kenapa, dan kenapa?
2. Mencari hakekat segala sesuatu dengan memperkarakan benda-benda sederhana dan lazim.
Jadi ia membuat logika premis (mantiq), dan menebak-nebak perkara gaib. Di sisi lain, ia menggaibkan (abstraksi) fakta-fakta kebendaan yang sudah jelas.

Filsafat biasanya membahas hal yang sangat mendasar (fundamental) dan sering mempersulit pengertian wujud sederhana. Dari sudut pandang psikologi perkembangan, mengapa filsafat sering bertanya-tanya karena memang kekurangan informasi --seperti anak-anak-- yang sedang mempelajari segala sesuatu lantas ketika beranjak remaja, berhenti bertanya, dan itu bukanlah disebabkan kehilangan daya kritis. Masing-masing orang dewasa sudah punya spesialisasi dan tidak lagi mempersoalkan mobil itu mobil dan kursi itu kursi kecuali pada tingkat pembahasan disiplin ilmu tertentu. Di usia senja, bagi penganut agama khususnya muslim tentu tidak lagi memusingkan kematian karena telah tersedia keterangan mengenai hal itu.

Inilah kontradiksi sifat jurusan ini. Ia memutar otak mencari penjelasan tentang Yang Maha Gaib dan segala yang berkaitan dengan-Nya (sebelum penciptaan, untuk apa manusia hidup, dan kemungkinan kiamat) sampai botak pun tidak bakal ketemu. Ilmu gaib sumbernya harus dari alam gaib. Informasi mengenai tuhan ya harus dari tuhan biar tidak menyesatkan. Di saat yang sama, filsafat sains mencegah masuknya maklumat agama (informasi-sebelumnya) sebagaimana percobaan kimia menyingkirkan teori yang ada.

Karena tidak pernah menemukan jawaban pasti, philosophy (pikiran manusia) yang diwakili oleh para sarjana, atau pecinta filsafat merasionalisasi kegagalan pembelajaran dengan mengatakan kita bukan mencari kebenaran dan akan terus mempertanyakan, bertanya dan bertanya. Waduh, pantas orang belajar sebentar lalu ditinggalkan. Mending belajar matematika dan fisika yang sama-sama rumit atau bermain game online yang sama-sama menarik.

Akar masalah pemikiran filosofis ialah kekurangan informasi yang tepat. Ia penuh rasa ingin tahu mengenai metafisika/ontologi tapi menolak informasi dari sumber metafisik (wahyu). Kesombongan ini berasal dari metode berpikir ilmiah (kuantitatif, tidak kasat mata berarti tidak ada, dan memperlakukan manusia seperti sampel lab). Perasaan tersebut diperkuat oleh sikap gereja katolik di masa lampau. Kini Islam dicurigai melakukan hal yang sama. Muslim yang sejak dahulu kala (Adam, Taurat asli, Injil asli, hingga Al-Quran) telah mengantongi kunci-kunci dunia dan akhirat, ironisnya sekarang justru mendaftar ke IAIN belajar filsafat. Liberalisme adalah produk dan bahan bakunya ialah filsafat tanpa informasi-sebelumnya.

Solusinya adalah manusia wajib menggunakan metode berpikir rasional (bukan rasionalisme) untuk memahami humaniora dan memperlakukan ilmu filsafat cukup sebagai sejarah pemikiran dari jurusan sejarah ; program studi pun tidak diperlukan atau cukup beberapa mata kuliah untuk bahan penulisan kreatif (fiksi) jurusan sastra. Filsafat bukan digunakan sebagai metode berpikir umum karena kita cukup menggunakan akal secara alami yakni mengaitkan informasi/pengalaman dengan fakta/realitas bersama otak dan indera yang sehat.


Selamat Tinggal Filsafat-kedua!

Pelajar umum dan mahasiswa filsafat harus menyadari konteks filsafat-kedua (modernisme) adalah melawan kekuasaan gereja, beda dengan filosofi Yunani kuno ketika para filsuf mengerahkan penalaran (filsafat utama) guna menghasilkan berbagai penjelasan memecahkan misteri hidup dan ketuhanan. Hingga zaman Now kekatholikan dan banyak denominasi kristen runtuh, apakah ditinggal jemaat, bangkrut, atau ajaran-ajarannya diubah, maka pemikiran filosofis kembali kepada kemurnian berpikir mengatasi problematika kehidupan.

Sejarah pemikiran (filsafat) hingga saat ini paling tidak merupakan entitas publikasi sebagaimana sistem agama (idiologi) mengutus pendakwah/misionaris. Sebagai permulaan, perlu dibedakan pemikiran manusia prasocrates pada abad 5 SM (Filsafat Yunani kuno dst.) hingga sekarang. Seluruh bagian artikel ini sesungguhnya bertolak pada pemikiran di masa-masa kebangkitan Eropa (Renaissance) dan di suatu masa ketika filsafat mencoba memisahkan diri dari sains, namun tetap menggunakan metode berpikir ilmiah.

Filsafat-pertama dapat pula mengacu kepada cara berpikir manusia sebelum adanya penggunaan istilah filsafat (philosophy) sedangkan filsafat-kedua sama dengan istilah "filsafat" yang selama ini kita kenal, yakni julukan kepada seluruh masa pengajaran ilmu filsafat di sekolah dan perguruan tinggi hingga saat ini. Saya sendiri tidak dapat memastikan kurun per kurun waktu karena belum tahu banyak mengenai sejarah pemikiran dunia. Tulisan ini bersifat deduktif sambil lalu membaca ragam literatur. Sesungguhnya filsafat-pertama merupakan metode berpikir rasional. Mengapa disebut metode? Karena itu merupakan cara satu-satunya memahami manusia, makna kehidupan, dan alam semesta. Berpikir rasional berlandaskan logika dasar sebab dan akibat (kaidah kausalitas).

Ilmu logika macam silogisme tidak perlu diajarkan untuk kehidupan sosial dan ajaran agama. Mantiq tergolong metode matematis yang ditujukan khusus untuk perkara sains terukur (eksak). Cara berpikir dengan pelan-pelan membangun premis demi premis hanya dilakukan oleh anak-anak di awal perkembangan. Pengambilan kesimpulan demikian bukan kelas mahasiswa (baligh). Penalaran canggih, otomatis dan alami manusia dewasa jelas mampu melakukan lebih dari itu. Keharusan mempelajarinya akan berkesan merendahkan otak orang-orang terpelajar. Meski otak ditumpahkan ratusan ribu premis –khususnya dari bacaan- selama bertahun-tahun, ia tetap mampu memprosesnya. Bila dianalogikan, otak mahasiswa sekarang itu seperti laptop masa kini, jadi buat apa memakai komputer Yunani Kuna? Intinya kita 'pengumpul' data dan informasi yang lebih banyak daripada manusia purba (dalam bentuk pengetahuan dan sains). Walaupun potensi kecerdasan otak tidak berubah (hardware) sejak manusia pertama dan sama pada semua jenis ras, aplikasinya jelas beda berkat peningkatan perangkat lunak. Lagipula, zaman cloud computing dan portable mengatasi faktor RAM daya ingat (umur manusia). Secara umum, manusia sekarang tidak terlalu butuh penambahan memori dan storage lebih berkat pendelegasian. Relevansi bacaan yang ditambah, isi/makna dan bukan kapasitas. Kesehatan mental dan spirituallah kemudian yang menentukan persentase kemampuan efektif otak.

Dengan segala kepraktisan, maka yang harus dilakukan orang adalah mengumpulkan informasi sahih sebanyak-sebanyaknya (membaca buku dll.) seperti sejarah, memperkaya pengalaman, kemudian menghubungkannya dengan realitas sesuai minat atau multidisiplin. Metode berpikir dengan logika mantiq inilah salah satu yang menjadi penyebab kemunduran dunia Islam di masa lampau. Sekarang masih diajarkan, oleh sarjana agama pula. Coba perhatikan bahasa Al-Quran, paling tidak terjemahannya. Perumpamaan dan pengandaian serta sains mendorong manusia berpikir mengaitkan sebab dengan akibat (argumentatif).

Ada video Youtube yang memaparkan ilmu logika oleh DR. Fakhruddin Faiz. Beliau menguraikan 7 mode logika dasar dan membongkar kekeliruan kausalitas salah satunya. Ketidak-nyambung-an hubungan sebab-akibat tidak usah dicari-cari secara berlebihan karena tulang punggung berpikir logis ya kaidah kausalitas. Justru inilah “logika dasar” sedangkan mode-mode lain macam deduktif, induktif, analogi dll. itu hanya 'teknik menulis'. Error kausalitas itu gampang dideteksi oleh perkembangan penalaran orang dewasa apalagi jika ditunjang oleh kemajuan sains.

Seperti yang telah diterangkan pada tulisan awal, philosophy tidak digunakan sebagai cara berpikir umum karena kita cukup menggunakan akal secara alami yakni mengaitkan informasi/pengalaman dengan fakta/realitas bersama otak dan indera yang sehat. Filsafat itu hanya dilakukan oleh orang yang wawasannya terbatas seperti anak-anak dan manusia-manusia awal pada zaman dahulu kala orang belum sampai kepadanya informasi yang tepat tentang segala hal, sehingga mengajukan banyak pertanyaan. Ketika orang tumbuh dewasa sejak remaja baligh, pembelajaran sudah bersifat terapan, tentu termasuk sejarah pemikiran dan teori-teori praktis.

Kajian filsafat itu seperti hipokondria berlarut-larut yang selalu berusaha memecah-mecah keutuhan (mencari hakekat) dan tidak realistis ; pada kehidupan : alam semesta vs manusia, pada alam semesta : pengetahuan vs iman makhluk (manusia), dan pada manusia : laki vs perempuan dll. dst. Muaranya nanti pencipta vs makhluk. Ujung-ujungnya selalu kembali sewot pada eksistensi Tuhan. Mungkin kepintaran dan kepandaian retorika membuat ia tidak dapat mencerna hal-hal sederhana. Ia gemar membongkar-bongkar dan tidak berorientasi pada hasil atau solusi (kebenaran), hanya senang begadang. Jangan lupa mencapai kebenaran itu tak terkalahkan.

Kebiasaan filsafat mengkapling-kapling pengetahuan (taraf knowledge) mengemuka pada kajian-kajian pemikiran aktual di Facebook belum lama ini. Senada dengan pernyataan paragraf di atas, mereka -sejumlah pemikir mumpuni sebetulnya- memisahkan sains, agama, dan filsafat. Usaha memperdalam pijakan epistemologi tersebut juga sangat beresiko. Alih-alih memperkuat akar dari iman dan akal sehat (filsafat-utama), tasawuf dan filsafat malah menjauhkan diri dari agama (ibadah umum dan khusus) dan sains. Dengan sendirinya menjauhkan dari entitas tertinggi (tuhan). Terperosok terlalu dalam membuat filsafat-kedua  dan tasawuf sulit bergerak mengikuti perkembangan zaman.

Perhatikan gambar di bawah :

   dokpri

Keterangan : akal dengan metode berpikir rasional adalah jembatan dan tangga. Segitiga dari bawah dapat terbentuk bila terjadi korespondensi antara filsafat-kedua dan tasawuf menyambar estetisme, dan memuncak menuju alam gaib.

Memisahkan agama, sains, dan filsafat menjauhkan solusi memecahkan misteri manusia, hidup, dan alam semesta. Muslim terpuruk, non muslim tidak menyelesaikan masalah, dan sejarah berulang. Kemunduran Islam diperankan mutakallimin (ulama dan sarjana agama Islam) yang mempelajari filsafat untuk digunakan sebagai alat membela aqidah Islam dari kritik misionaris dan cendikiawan agama lain yang telah terlebih dahulu dibekali dengan filsafat (mantiq aristoteles). Padahal, filsuf muslimlah yang memungut khazanah pemikiran Yunani kuno, diterjemahkan, dibagi-bagikan di universitas dan menerangi kegelapan Eropa dahulu kala. Hingga zaman sekarang, pastor berbondong-bondong belajar filsafat sebagai bekal menangkis kritik dari jemaat dan dapat dipakai mendebat agama lain termasuk Islam seperti di masa lampau.

Mengapa filsafat (filsafat kedua) sebaiknya diposisikan sebagai bagian dari sejarah pemikiran? Karena filsafat barat sering menunjuk hidung 'agama' akibat trauma pada kekristenan Eropa. Seharusnya para sarjana pengikut atau filsuf mereka langsung menyebut Katolik secara eksplisit dan tidak melakukan generalisasi terhadap semua agama. Hindu, Budha, apalagi Islam bisa tersinggung. Ini mungkin bentuk penghalusan. Pihak-pihak yang sanggup mengkambinghitamkan agama tentu bukan orang sembarangan. Mereka pasti telah menghabiskan sebagian besar waktunya meneliti setiap kepercayaan, riset demi riset ; dan tanpa hidayah, seluruh hidupnya sia-sia.

Walaupun publik usia produktif terlanjur mengenal kajian filsafat, mereka harus menyederhanakan (baca : menuntaskan berbagai pertanyaan mendasar) untuk kemudian kembali ke bidang masing-masing. Kegunaan filsafat bukan tidak ada sama sekali semisal melatih kepekaan manusia di berbagai disiplin ilmu. Belajar teori kehidupan dan sejarah pemikiran punya keasyikan tersendiri seperti sebuah hobi khususnya bagi muda-mudi mahasiswa jurusan filsafat.


Lingkaran Wina : Filsafat Ilmu Pengetahuan

Berikut garis besar pemikiran dua orang filsuf asal Austria:

1. Otto Neurath : Sains terpadu dalam bentuk bahasa terpadu
2. Rudolph Carnap : Sains terpadu dalam bentuk Fisika

Ketahui juga skema umum pembentukan sains:

Data  -->  Informasi -->  Pengetahuan -->  Ilmu Pengetahuan

Keterangan : Data merupakan penamaan objek-objek. Susunan data membentuk informasi (SPOK). Relasi atau hubungan sebab-akibat antar informasi disebut pengetahuan. Pengetahuan kemudian dipilah, dibuat sistematis untuk mencapai standar tertentu sebagai ilmu pengetahuan (sains). Sains Eropa dimulai sejak 16 M melanjutkan khazanah Yunani Kuno dan Renaissance.

Gambaran kasar dari skema di atas menunjukkan hanya sebagian besar Matematika dan IPA = Fisika, Biologi, dan Kimia yang dapat mencapai tahap ilmu pengetahuan (sains) karena dengan standarisasi pengujian tertentu, ia objektif oleh siapapun, sedangkan IPS termasuk agama (hukum) cukup sampai pengetahuan karena sangat dinamis dan dalam banyak hal tidak kasat mata. Mengapa filsafat ilmu pengetahuan berubah-ubah dan terjadi semacam pergeseran seiring perkembangan zaman serta adanya silang pendapat antar pemikir dan ilmuwan? Hal ini disebabkan mereka membuat skema tersebut laksana hirarki piramida tatkala ilmu pengetahuan (science) berada di puncak merasa lebih baik daripada pengetahuan (knowledge). Hal ini semakin dibingungkan oleh kekayaan metode Matematika yang terkadang pasti (eksak) sekaligus imajiner (ingat Tuhan).

Seperti kita ketahui bersama semaju apapun sains eksak (IPA) tidak bisa menjadi sumber dari segala sumber kebenaran karena bakal selalu ada temuan baru yang melengkapi atau menyangkal teori sebelumnya. Sifat temporal sains IPA inilah yang membuat ia dikembalikan lagi sebagai knowledge atau menjadi pengetahuan-sebelumnya bagi penalaran (IPA/IPS/Islam) berikutnya. Sains dan metafisika-yang-katanya-tidak-ilmiah adalah pengetahuan. Ilmu pengetahuan lebih tinggi statusnya daripada pengetahuan khusus pada perkara eksak saja (IPA, kedokteran, farmasi, dll). Sedang Matematika mengandung keterukuran sekaligus imajinasi tak terindera. Ia membingungkan semua orang, namun inilah jawabannya : eksistensi Matematika cukup meruntuhkan positivisme logis.

Akar problematika filsafat ilmu pengetahuan disebabkan sains pecah kongsi dari pengetahuan berkat lingkungan yang tidak kondusif (masa kegelapan). Semestinya setelah suatu disiplin ilmu mencapai tahap sains (dapat diindera, dihitung, dan dikodifikasi), ia dikembalikan ke pengetahuan dengan pola pikir rasional di tataran praktis, sebagaimana statistika misalnya menunjang teori psikologi dan sosiologi. Keharusan ini sesuai dengan pernyataan Thomas Kuhn bahwa sains revolusioner (sains) akan kembali menjadi sains normal (pengetahuan) -kurang lebih begitu.

Dengan demikian ilmu pengetahuan (science) bagian dari pengetahuan (knowledge) untuk diolah menjadi akal (mafahim). Dengan kata lain, metode ilmiah bagian dari metode rasional (An Nabhani). Inilah mungkin yang dimaksud oleh Otto Neurath sebagai bahasa terpadu dan amat bertentangan dengan rekannya Rudolph Carnap pada posisi sebaliknya : semua pengetahuan dipaksakan menjadi sains sampai detik ini. Efeknya mengakibatkan timbul pembagian filsafat timur dan barat, logika klasik dan non klasik.


Sesungguhnya tidak perlu dibelah timur-barat seperti itu. Logika klasik dipakai untuk perkara ilmu eksak saja (MIPA) sedangkan non klasik untuk agama termasuk humaniora. Penggunaan kata 'filsafat' sebetulnya istilah umum untuk pemikiran rasional yang dihasilkan sejak manusia ada hingga sekarang berlaku di segala penjuru arah. Dalam konteks filsafat, jangan dipilah karena merupakan satu kesatuan bagi logika dasar sedangkan dalam konteks budaya wajar tradisi orang berbeda-beda. Ini relevan dengan istilah pendidikan yang membebaskan, ketika orang memborong klasik dan nonklasik semampunya demi pencapaian rasionalitas di masa depan.

Demikianlah setelah dipikir-pikir sejarah filsafat ilmu pengetahuan mungkin ada sejak sebelum masa pencerahan dan selalu memperdebatkan hal sama sebagaimana sejarah filsafat ; dua hal yang terus menerus dipertentangkan yaitu perkara gaib dan inderawi serta mana yang mesti diprioritaskan. Berkiblat pada logika khusus (ilmiah) memperlambat orang mencerna problematika kehidupan manusia (non eksak) selagi dibanding-bandingkan dengan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi.


Metode berpikir sains telah menghambat kepercayaan diri kognisi, mengalangi orang memperoleh pengetahuan selain dari sumber-sumber baku dan sistematis. Upaya mencerna persoalan selalu direcoki oleh teori dan seabrek kutipan pendukung yang tersedia dalam kotak ‘sains’. Artinya sains dijadikan cara satu-satunya mengolah informasi padahal embel-embel ilmiah tidak bisa menjadi standar semua pengetahuan. Ia tidak dapat diberlakukan di bidang non eksak : aqidah, keadilan, manajemen bisnis, sosiologi, psikologi. Justru ilmu-ilmu eksak berkontribusi untuk pengambilan keputusan rasional di bidang-bidang tersebut misalnya : kodifikasi hukum membantu proses peradilan (hikmah) dan ilmu kedokteran menyediakan informasi bagi ranah psikologi.


Kecuali agama Islam (terutama aqidah), Ilmu-ilmu sosial tidak boleh dikunci dalam kotak. Seluruh kehidupan manusia adalah observasi dan berbagi informasi acak antar individu. Semua orang bebas memberikan defenisi dan mengeluarkan pendapat atas dasar kekayaan pengalaman masa hidup. Tidak bisa dipaksakan ilmiah. Kewajiban mengumpulkan kutipan hanya dikhususkan bagi jurnal kedokteran, matematika, astronomi, dan MIPA lainnya. Sedangkan humaniora bergantung pada platform penulisan dan etika lingkungan akademik.  Kumpulan informasi-awal (sains) bisa merupakan kesepakatan, namun realitas harus tetap berdasarkan sebab-akibat untuk mencapai penalaran.
Kesimpulan : filsafat, walaupun gemar diistilahkan demikian, adalah penalaran alami sehari-hari sejak manusia ada di dunia dan berdasarkan logika dasar rasional tanpa metode sains. Agama (Islam) dan pengetahuan sosial tidak mencapai tahap ilmiah karena tidak eksak. Rasionalitas sebab-akibat adalah syarat cukup baginya dan seiring waktu keilmiahan sains bakal atau kelak mendukung kausalitasnya.

@mikailearns

Referensi :

Youtube – Transformasi Iswahyudi

Youtube – Martin Suryajaya

Youtube – DR. Fakhruddin Faiz

Youtube – Goenawan Mohamad

Youtube - Wowiek Mardigu

Bunga Rampai Pemikiran Islam – Gema Insani Press

Syakhsiyah Islamiyah – HTI Press

Buku Daras Filsafat Islam  – Mizan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Waktu : Akal dalam Kecepatan Cahaya

Logika, Penalaran dan Tesis

Filsafat Bahasa