Ketanahairan dan Kebangsaan

Saya terlalu sering mendengar istilah kebangsaan, sentimen yang kabur dan manipulatif. Seharusnya media mainstream memakai kata ketanahairan jika hendak mempersatukan warga negara. Kebangsaan itu mengacu kepada suku dan ras. Jadi kalau ada tokoh siapalah ngomong kebangsaan berarti dapat ditafsirkan dia sedang membicarakan kepentingan suku dan ras sebagai identitas diri atau kelompoknya. Teks sumpah pemuda pasti keliru soal berbangsa satu. Orang Indonesia berbangsa-bangsa bermacam suku bertanah air satu dan berbahasa resmi satu.

Arti nation state menyesatkan pula. Sebutan negara bangsa lebih cocok untuk negara seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Israel, RRC dll. karena kepercayaan dan suku bangsa mereka dilebur dalam satu agama negara budaya sipil semisal melayu=islam. Di Tiongkok satu idiologi negara agama sipil berupa bangsa han=komunisme atheis. Amerika serikat bukan negara bangsa meskipun pemimpinnya menyeret-nyeret menjadi negara kulit putih. Itu negara patriot yang multiras dan majemuk seperti Indonesia, Inggris dan Perancis dengan patriotisme pada ketanahairan. Media-media publik di Indonesia lebih tepat menggunakan kata patriotisme daripada nasionalisme. Bhinneka tunggal ika tidak bisa diterapkan pada negara bangsa (nation state), tapi di negara patrio (patriot state).

Ketanahairan maksudnya di mana orang lahir dan membangun masyarakat dan penghidupan layak sedangkan kebangsaan bersifat lahiriah, tidak dapat ditentukan sendiri dan memungkinkan hasil asimilasi.
Makna nasionalisme dan patriotisme telah dicampur aduk. Karena Indonesia bukan negara bangsa (sampai saat ini), otomatis kata nasionalis seharusnya tidak dipakai. Minoritas suku dan ras tidak usah merasa inferior. Seharusnya tidak ada dikotomi pribumi - nonpribumi. Semua orang wajib menjadi patriot. Lain cerita pada sebuah negara bangsa (nation state sejati). Mayoritas penduduk menyebut diri mereka nasionalis dan patriotis bersamaan sedangkan kaum minoritas cukup menjadi seorang patriot.

Nasionalisme berpotensi menjelma ultra nasionalis atau fasis. Inilah kekhawatiran seorang pemakalah (Salihara) bahwasanya ketika feodalisme aristokrat (bangsa unggul) dikawinkan dengan sosialisme dapat melahirkan monster : seorang fasis. Praktek negara nenek moyang fasisnya inilah yang dianggap fasisme. Itu secara teoritis. Dalam realitas tidak sederhana, dinamika sebuah negara bervariasi. Satu kebijakan pemimpin bisa dicap diktator. Anda tidak langsung direspon jika menuduh seorang pemimpin negara Islami diktator/fasis. Asosiasi fasis merupakan penyifatan netral tergantung nilai-nilai negara yang dianut, kurang lebih seperti kata radikal atau ekstrim.

Nah, dalam konteks Islam sebagai agama politik andai diterapkan di Indonesia sebagai suatu negara bangsa (Jawa= Islam), maka orang-orang Jawa muslim yang beredar di pemerintahan dan ketatanegaraan tidak boleh menjadi seorang nasionalis (ashabiyah). Seorang mukmin terikat pada hukum syara' dan demokratisasi (prinsip perwakilan mayoritas) hanyalah uslub yang melayani thariqah dan itu hanya salah satu uslub dari beberapa cara menerapkan kehidupan Islami.

Perbedaan paling mencolok antara cara sebagai uslub dan cara sebagai thariqah ialah uslub masih berpotensi keliru tidak mencapai hasil atau belum terbukti keberhasilannya. Di perang Peloponnesia (431-404 SM), pasukan Sparta mundur ke perairan. Athena mengadakan pemungutan suara apakah melakukan pengejaran atau tetap berdiam di balik benteng. Pendapat mayoritas di situ dapat diterima walaupun hasilnya berujung kekalahan besar.

Islam adalah agama politik yang mengandung peraturan baku. Tidak segampang itu pemimpinnya mengutak-atik wahyu dan hadits nabi. Oleh karena itu, pemilihan pemimpin muslim di negeri-negeri islam biasanya diatur oleh negara adikuasa aka hegemoni agar dipilih orang yang tidak paham agama, religius iya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Waktu : Akal dalam Kecepatan Cahaya

Logika, Penalaran dan Tesis

Filsafat Bahasa